Kamis, 07 Maret 2013

Individu sosiopatik dan reaksi sosial


PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Istilah psikopat yang sejak 1952 diganti dengan Sosiopat dan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) II 1968 resmi dinamakan Sosiopat. Hare menyamakannya dengan salah satu kelainan, yaitu Anti Social Personality Disorder (Hare, Hart & Harpur, 1991). Pada umumnya mayoritas orang menyebut psikopat sebagai sakit jiwa, karena istilah psikopat berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa dan “pathos” yang berarti penyakit,namun psikopat tidak dimaksudkan untuk kategori sakit kejiwaan secara menyeluruh. Penderita psikopat biasanya juga seorang sosiopat, karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya.
           Psikopat adalah perilaku psikologis dimana pelaku terus menerus mencari gratifikasi (pembenaran diri) atas tindakan2 keliru yang dilakukannya. Seorang psikopat tidak memiliki kemampuan untuk mengenali dan belajar dari kesalahan. Namun dia memiliki daya analisa yang tinggi dan seringkali tergolong orang yang sangat cerdas.

           Banyak psikolog berpendapat, salah satu ciri awal seorang berpotensi menjadi psikopat adalah ketika dia memiliki rasa cinta pada diri sendiri (narcissistic). Dalam tingkatan spektum patologi, Narcissistic berada di peringkat terendah dari gejala kelainan jiwa . Jika kecintaan pada diri sendiri berubah menjadi paranoid (takut ada orang lain yang lebih cantik / tampan dari dirinya), maka orang itu berada pada spektrum tengah yang disebut Malignant Narcissism. Dan dalam spektrum tersebut, psikopat berada di peringkat paling atas dan disebut High-End Narcissism. 
 Menurut sosiolog tingkah laku sosiopatik adalah tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari kebiasaan serta norma umum, yang ada pada suatu tempat dan waktu tertentu yang ditolak sekalipun tingkah laku tersebut di tempat dan waktu lain bisa diterima oleh masyarakat lainnya.



Rumusan Masalah
1.      Seperti apa proses diferensiasi dan sosialisasi terhadap individu sosiopatik ?
2.      Seperti apa  mobilitas terhadap individu-individu sosiopatik ?
3.      Seperi apa  penyesuaian diri individu marginal ?
4.      Apa reaksi sosial terhadap individu sosiopatik ?


B.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui diferensiasi dan sosialisasi terhadap individu sosiopatik.
2.      Untuk mengetahui mobilitas terhadap individu-individu sosiopatik.
3.      Untuk memahami penyesuaian diri individu marginal.
4.      Untuk mengetahui bagaimana reaksi sosial terhadap individu sosiopatik.


     
PEMBAHASAN
A.    Proses Diferensiasi dan Sosialisasi
Pribadi yang menyimpang, dengan tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum adalh sebuah diferensiasi ataupun deviasi hal ini yang membuat sosialisasi yang agak berbeda pada individu yang berperilaku menyimpang.
Proses diferensiasi: sebagian kecil manusia yang secara individual memang berbeda dengan orang kebanyakan sejak lahirnya. Misalnya dengan lahir dengan keadaan ekonomi yang kurang baik ataupun lingkungan yang berbeda. Keadaan dan lingkunagan umumnya  cenderung menimbulkan perasaan-perasaan yang sangat dalam pada pribadi yang bersangkutan, sehingga respons sosialnya berkembang menjadi tidak wajar. Selanjutnya, kondisi tersebut akan menjadi lebih parah apabila lingkungan sekitar menghina, menolak atau mengucilkan dirinya (penindasan kaum mayoritas), sehingga dia bisa menjadi sosiopatik.
Sekelompok individu yang lahir,tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dalam lingkungan keluarga atau kelas sosial yang sangat memilukan. Dimana kejahatan, kemiskinan kronis, pola asusila, dan kebiasaan mengemis menjadi cara hidup yang melembaga dalam kelompok tersebut. Dalam situasi dan kondisi demikian, pertumbuhan psikologis dari pribadi dan kelompok cenderung menjadi abnormal atau menyimpang. Sebab kebudayaan dan kerangka organisasi sosial tersebut memberikan pengaruh yang memaksa, sehingga tingkah laku individu menjadi konform/cocok dengan perilaku lokal namun dianggap patologis oleh masyarakat luas. Kontak yang terus-menerus dengan orang dewasa yang menyimpang atau abnormal, mempersiapkan dan membentuk kebiasaan-kebiasaan serta watak yang sosiopatik pada diri anak-anak dan orang muda. Dengan sendirinya, konsepsi mengenai nilai-nilai moral di beri isi dan bentuk oleh kode-kode moral yang berlaku dalam kelompok-kelompok bermain semasa anak-anak dan oleh masyarakat lokal. Sehingga apabila individu-individu yang sosiopatik itu berkonflik dengan masyarakat luas,maka konflik itu pada hakikatnya merupakan konflik antara dua kebudayaan yang normal melawan kebudayaan yang patologis.
Terjadinya proses sosialisasi pada diri anak dalam pengoperan pola tingkah laku yang ditolak secara sosial itu (yang menyimpang/sosiopatik). Proses tersebut berlangsung secara progresif, tidak sadar, berangsur-angsur, setahap demi setahap, dan berkesinambungan. Maka semua bentuk pelanggaran terhadap norma-norma sosial itu lalu dirasionalisasi secara progresif, dibenarkan, ada proses justifikasi dan akhirnya dijadikan pola tingkah laku sehari-hari. Perubahan-perubahan sosiopatik demikian bisa berlangsung pada tingkah laku lahiriah dengan penyimpangan-penyimpangan yang tampak jelas, maupun tingkah laku yang tersembunyi dan tersamar.
Tingkah laku kriminal dan menyimpang dari orang dewasa itu diterima oleh anak-anak dan orang-orang muda, lalu diproyeksikan secara simbolis ke dalam jiwa sendiri. Kemudian berlangsunglah proses internalisasi dan proses pengkondisian tingkah laku menyimpang secara bertahap. Banyak penulis menyatakan, bahwa perubahan tingkah laku dari normal menjadi abnormal yang berlangsung dengan tiba-tiba dan drastis itu jarang terjadi. Sebab, ada serangkaian transformasi persiapan yang mengawali berlangsungnya perubahan tingkah laku menyimpang tadi. Jadi, ada pertumbuhan dari potensi-potensi cadangan, dan ada kecenderungan-kecenderungan deviasi yang asli sifatnya, yang berlangsung dari hari ke hari. Ternyata banyak orang normal yang memiliki potensi-potensi untuk mengembangkan tingkah laku abnormal dengan cara demikian. Begitu kondisi sosialnya memungkinkan, maka dengan mudahnya orang-orang tersebut berubah menjadi abnormaldan bertingkah laku menyimpang dari norma-norma umum.
Alasan-alasan yang dikemukakan di atas memang ada benarnya, karena banyak individu kriminal dan menyimpang lainnya memiliki sejarah perkembangan kepribadian demikian. Namun  jangan dilupakan, bahwa pengalaman-penhalaman traumatis (timbul disebabkan satu luka) sering kali menumbuhkan dan mempercepat perubahan-perubahan secara radikal pada pribadi. Maka terjadilah proses otonomi fungsional. Jelasnya demikian: pada otonomi itu berlangsung satu trauma atau luka jiwa, disebabkan oleh pengalaman yang sangat memedihkan hati dan melukai jiwa. Oleh pengalaman tersebut, kehidupan pribadi yang bersangkutan sejak saat itu berubah secara radikal, yaitu mengalami proses penaikan menjadi lebih baik atau justru mengalami proses penurunan, jatuh dalam pelimbahan dan kehinaan yang parah.
Pengalaman trumatis tersebutmemiliki arti dinamis sangat besar. Dinamika dari situasi tadi menjadi satu kekuatan yang otonom dan secara fungsional terlepas dari pengalaman-pengalaman hidup sebelumnya. Truma atau pengalaman hidup yang dahsyat itu mempunyai peranan penting dalam kehidupan seseorang, karena merupakan pengalaman yang sangat mengejutkan, menyakitkan hati, dan memberikan goncangan jiwa/shock hebat. Selain trauma tersebut memberikan arah hidup yang lain, serta memberikan satu prospek baru, sekaligus juga mengubah secara drastis sikap mental pribadi yang bersangkutan.
Peristiwa traumatis itu mempetakan pola yang dominan terhadap kepribadian seseorang, sehingga menyebabkan berlangsungnya reorganisasi tiba-tiba terhadap mental dan sikap, lalu mengeluarkan diri dari kader hidup yang lama. Kemudian terjadilah satu loncatan hidup baru, yang memberikan perspektif hidup baru. Jelasnya, peristiwa traumatis itu memberikan pengaruh fungsional yang sangat menentukan. Yaitu menumbuhkan dinamik emosional yang sangat intens kuat dan melepaskan pribadi yang bersangkutan dari kader pengalaman hidupnya yang lama. Terjadi kepatahan atau loncatan dalam perkembangan hidupnya, disusul perubahan mental dan perubahan tingkah laku. Dalam hal ini, ada perubahan tingkah laku yang normal menjadi pola yang menyimpang, kriminal, jahat atau abnormal secara sosial. Dinamika dari otonomi itu demikian dominannya, sehingga sering kali menguasai segenap kejiwaan dan pola hidup yang terdahulu.
Uraian di atas memberikan penjelasan pada kita, bahwa struktur perubahan itu bisa diterobos oleh perangsang-perangsang sosial (pengagruh-pengaruh sosial) yang sangat kuat, sehingga berlangsung prose perubahan diri yang dipercepat. Tidak jarang perubahan secara drastis radikal itu disertai dengan krisis-krisis jiwa yang gawat. Maka krisis-krisis jiwa dan pengalaman-pengalaman hebat atau trauma psikis itu mempercepat proses transformasi tingkah laku normal menjadi perilaku deviasi/penyimpangan.
  Pengoperan pola-pola abnormal secara tidak sadar itu menyebabkan proses persepsi diri dan pendefinisian diri. Persepsi diri berarti menerima keadaan atau nasib sendiri sebagai benar-benar kriminal atau menyimpang. Pendefinisian diri berarti: memastikan diri untuk melakukan peranan tertentu, yang erat kaitannya dengan persepsi diri (penerimaan diri) dan segera diikuti dengan praktik-praktik langsung. Yaitu dengan ikhlas menjalankan perbuatan kriminal atau asusila. Inilah yang disebut proses individualisasi. Selanjutnya, pendefinisian diri tersebut merupakan titik kritis dari kualitas keperibadian. Inilah yang disebut sebagai limitasi subjektif. Sedang pengaruh-pengaruh eksternal dari lingkungan sosial disebut sebagai faktor limitasi/eksternal.



     
B.     Mobilitas pada Individu Sosiopatik
          Pada umumnya, individu-individu dan kelompok-kelompok yang menyimpang itu sangat mobile sifatnya. Pribadi-pribadi dengan mobilitas vertikal dan mobilitas spasial/ruang yang rendah, sangat dibatasi ruang geraknya oleh para anggota kelompok/lingkungan lainnya. Mereka memilki afinitas atau daya-kait yang tinggi dengan anggota-anggota kelompok sendiri. Sebaliknya, orang-orang yang merasa ditolak oleh lingkungannya, tidak mempunyai tempat dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan anggota-anggota kelompoknya, pasti punya kecenderungan kuat untuk keluar dari daerah tempat tinggalnya. Dan besar keinginannya untuk bermigrasi ke dalam masyarakat dengan struktur organisasi yang berbeda. Tidak jarang mereka itu berpindah-pindah tempat tinggal untuk memperluas komunikasi dan habitat atau tempat tinggal. Jadi, ruang gerak mereka menjadi lebih luas dan longgar.
          Para penjahat itu pada umumnya merupakan individu dengan mobilitas tinggi. Namun, pada hakikatnya mereka itu terisolisasi dari bagian terbesar masyarakat normal. Biasanya mereka terpaksa meninggalkan pola hidup kawin/berkeluarga. Sebab, resiko ditangkap dan dimasukkan dalam penjara besar sekali. Setiap saat mereka bisa berurusan dan baku-tembak dengan polisi. Maka pemuasan dorongan seksual terpaksa disalurkan melalui relasi dengan wanita-wanita tuna-susila atau dengan wanita-wanita “piaraan” yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Hubungan mereka dengan anggota-anggota masyarakat normal sangat terbatas dan tidak akrab. Mereka bahkan diamati dengan rasa curiga, baik oleh para anggota masyarakat pada umumnya, maupun oleh penjahat-penjahat lokal lainnya, oleh polisi dan penguasa setempat.
           Individu yang dianggap sebagai pesona non grata-pribadi yang tidak diterima, tidak mendapatkan pengampunan-oleh tingkah lakunya yang menyimpang, praktis akan dikucilkan atau dikeluarkan sama sekali dari semua partisipasi sosial oleh masyarakat, dan secara geografis tidak banyak berkomunikasi dengan daerah luar. Khususnya individu yang dianggap berbahaya oleh kepala suku (clan, kampung, kelompok), akan ditolak sama sekali bahkan diusir dari daerah tersebut. Maka tekanan-tekanan sosial yang sentripental-keluar dari tokoh pemimpin yang dianggap sebagai kekuatan suku-mempunyai daya memaksa yang kuat sekali.

C.    Penyesuaian Diri Individu Marginal
Menurut Kartono (2000), penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Sehingga permusuhan, kemarahan, depresi, dan emosi negatif lain sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dikikis. Hariyadi, dkk (2003) menyatakan penyesuaian diri adalah kemampuan mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan atau dapat pula mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan atau keinginan diri sendiri. Ali dan Asrori (2005) juga menyatakan bahwa penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.
 Pendapat umum menyatakan, bahwa individu-individu, yang agak berbeda dan ditolak oleh masyarakat itu pada galibnya tidak bahagia hidupnya. Mereka mengalami proses demoralisasi dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Susahnya menerima sesuatu yang sedikit berbeda itulah masalah terbesar bagi seoarang sosiopatik,Khususnya menyangkut kehidupan para penjahat dan pelacur yang dianggap menganut pola hidup yang sangat memalukan atau asusila. Sedang orang-orang alkoholik dan penjudi-penjudi kronis biasanya menempuh kehidupan tanpa harapan atau bahkan bisa menjadi gila oleh tingkah lakunya sendiri. Bahkan, ada dugaan bahwa para pencoleng ekonomi atau mafia-mafia ekonomi itu didera oleh perasaan berdosa dan penyesalan. Pendapat dan perkiraan tersebut di atas tidak selalu mengandung kebenaran. Sebab segala peraturan dan norma masyarakat itu tidak selamanya mampu memberikan daya tindisan yang memaksa kepada jiwa/mental pribadi-pribadi sosiopatik tadi.
Perasaan bahagia dan kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan oleh individu yang sosiopatik itu secara secara kualitatif berlangsung pada sikap pribadinya terhadap Aku sendiri. Yaitu bergantung pada proses persamaan-diri (zelfbenaming) dan penentuan diri atau pendefinisian-diri. Peristiwa ini dicerminkan oleh perimbangan antara pendefinisian sosial /penentuan-sosial dengan pendefinisian-diri sendiri. Jadi, ada tingkah laku simbolis yang tersembunyi atau tidak tampak, yang mengolah secara batiniah penghukuman-sosial dan pendefinisian-sosial tersebut, dibandingkan dengan pendefinisian-diri. Bergantung pula pada besarnya penerimaan definisi-sosial tadi, yang kemudian dioper dalam pusat keperibadiannya. Jadi, bergantung pada besarnya introyeksi ke dalam diri sendiri, yang dijadikan peristiwa definisi-diri. Jadi, semua itu bergantung pada dinamisme atau mekanisme jiwa dalam bentuk internalisasi, rasionalisasi, proyeksi, introyeksi, substitusi/penggantian peranan, pembenaran diri atau selfjustification. Selanjutnya, berlangsunglah peneracaan-imbangan antara reaksi-sosial/pendefinisian-sosial dengan pendefinisian-diri sendiri antara stempel sosial yang ditimkan dari luar, dengan mekanisme psikis berwujud (pembenaran tingkah laku sendiri)
Individu yang puas dalam usaha pembenaran-diri dan pendefinisian-diri sendiri, akan merasa bahagia dan mudah menyesuaikan diri dengan limgkungannya. Sebaliknya, dia akan menjadi sangat tidak bahagia atau sengsara, apabila tidak ada kongruensi atau keseimbangan antara pendefinisian-diri dengan hukuman sosial antara peranan yang dituduhkan kepada dirinya dan peranan sosial menurut interpretasi sendiriyang ingin dilakukannya. Jadi, prosesnya berlangsung sebagai bentuk interaksi antara faktor-faktor  subjektif dengan faktor-faktor objektif. Proses demikian tidak jarang berlangsung melalui banyak konflik batin dan krisis-krisis jiwa.
Pada kasus-kasus yang ekstrem, berlangsunglah ketidakmampuan menyesuaikan diri secara total; ada personal maladjustment dan kepatahan jiwa secara total atau complete breakdown. Konflik-konflik hebat disebabkan oleh pembanding antara hukuman sosial dengan definisi-diri itu bisa membelah kesatuan kepribadian, lalu mengakibatkan disintegrasi total. Kemudian timbullah Aku-Aku sosial yang saling bertentangan. Atau pribadi menjadi terintegrasi berdasarkan atas delusi-delusi (ilusi-ilusi yang keliru) sehingga membuahkan tingkah laku aneh, criminal, dan sangat membahayakan keamanan umum.
Ada juga pribadi-pribadi yang tidak mampu mengadakan penyesuaian diri/adaptasi terhadap lingkungannya, disebabkan oleh alasan sebagai berikut: ditolak oleh masyarakat untuk menjalankan peranan-peranan yang sangat didambakan. Sebaliknya, menolak peranan-peranan yang disodorkan oleh masyarakat kepada dirinya atas alasan-alasan subjektif. Orang-orang demikian disebut individu-individu marginal (pribadi tepian atau setengah-setengah). Pribadi marginal ini adalah seorang yang dihadapkan pada pilihan peranan. Juga disebabkan oleh keterbatasan internal atau eksternal tertentu, dia tidak mampu mengintegrasikan hidupnya atas dasar salah satu peranan tersebut. Sebgai contoh, peristiwa sebagai berikut: seorang pelacur yang sudah tu, di atas usia 35 tahun, selalu saja merasa bingung dan bimbang menjalankan peranannya  sebagai WTS (wanita tuna susila). Bila pekerjaan tadi dilanjutkan, maka kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan. Dia sudah layu, kecantikannya sudah hilang dan selalu sakit-sakitan. Kaum pria “hidung belang” menolak dirinya. Namun, apabila pekerjaan memperdagangkan diri itu tidak dilanjutkan dia pasti akan mati kelaparan dan hidup berkekurangan.
Contoh lain dari pribadi marginal ini ialah: (1) warga negara keturunan asing (minoritas rasial atau hibrid-rasial), (2) keturunan para imigran, dan (3) kaum intelektual dengan mental emansipasi tinggi. Perasaan-perasaan warga negara keturunan asing khususnya keturunan Cina, sering diobang-ambing oleh pikiran dan perasaan-perasaan ambivalent. Di satu pihak mereka ingin meninggalkan pola-pola kebudayaan Cina yang dianggap ortodoks-konservatif dan tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Namun merasa belum mendapatkan tempat berpijak yang mapan di tengah masyarakat warga pribumi. Di pihak lain, mereka ingin mengambil pola hidup orang pribumi, serta melakukan adaptasi diri yang serasi. Namu jauh dilubuk hati, mereka merasa segan dan takut dicap sebagai warga negara kelas “kambing”.
Pada kasus para imigran, khususnya dari generasi kedua, sering berlangsung peristiwa sebagai berikut: mereka ingin membuang kebiasaan dan adat istiadat daerah, agar bisa menyesuaikan diri dalam masyarakat baru yang memberikan ruang hidup. Namun mereka takut mendapatkan kutukan dan sumpah-serapah dari orang tua serta para leluhur. Sebaliknya, apabila tetap berkukuh pada pola hidup dan kebiasaan lama, mereka merasa tidak bahagia dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang baru. Sedang kaum intelektual (cerdik pandai) dengan emansipasi tinggi, di satu pihak mengutuk kelambanan bangsanya dalam mengoper nilai-nilai modernitas. Namun di pihak lain, tetap saja mereka merasa bingung dan kacau menanggapi gejala-gejala modernitas itu sendiri merasa tidak bahagia di tengah-tengah yang peristiwa serba modern.
Pribadi sosiopatik yang setel (adjusted) adalah seorang yang dengan sadar dan ikhlas menerima statusnya, juga menerima peranan dan pendefinisian-diri sendiri. Jelasnya dia ikhlas menerima pendefinisian eksternal (penamaan oleh orang luar), yang kemudian ditransformasikan sebagai pendefinisian-diri. Dia menyadari, bahwa masyarakat memberikan stempel pada dirinya sebagai orang yang sosiopatik/menyimpang. Peranan dan stempel demikian menimbulkan perasaan malu dan bersalah atau berdosa. Namun, dia merasa tidak berdaya untuk meninggalkan kebiasaan dan tingkah lakunya yang abnormal itu. Misalnya kebiasaan minum-minuman keras, kesukaan mencuru dan merapok, kesenangan menipu, dan lain-lain. Semua kontrol rasional dan pertimbangan hati nurani ternyata sia-sia belaka, dan pribadi yang bersangkutan menjadi budak dari kecenderungan-kecenderungannya yang sosiopatik. Selanjutnya, dengan ikhlas diterimanya nasib dan status dirinya itu.
Apabila dalam masyarakat yang bersangkutan tidak terdapat organisasi deviasi dengan pola atau kebudayaan khusus, seperti yang dianut oleh seorang pribadi yang sosiopatik, maka proses adaptasinya dalam masyarakat menjadi sulit. Karena dialah satu-satunya individu  yang menyimpang atau abnormal misalnya satu-satunya pencoleng atau penjudi. Sedang organisasi maling atau perjudian tidak ada dalam masyarakat itu. Penyimpang demikian ini di sebut sebagai isolan atau pribadi yang terisolasi. Lagi pula dia tidak bisa menambah keterampilan atau teknik-teknik sosiopatik dari para anggota masyarakat lainnya.
Sebaliknya, apabila dia bisa memasuki satu organisasi sosiopatik yang berstuktur rapi, maka dia mendapatkan kesempatan untuk menjadikan dirinya bagian dari satu sistem kelompok, lalu melakukan identifikasi terhadap nilai-nilai dan norma-norma organisasi deviasi tadi. Dia bisa menikmati satu solidaritas sosial bersama-sama dengan kawan-kawan “senasib”. Dan bisa mempertahankan integritas kepribadiannya melalui proses rasionalisasi dan ideologi-ideologi patologis terhadap agresi-agresi sosial dan kejaran-kejaran dari luar, hukuman dan sanksi.
Oraganisasi-oraganisasi deviasi demikian bisa dibedakan satu sama lain. Yaitu tergantung pada macam-macam faktor, antara lain: derajat solidaritas dalam kelompok, besar kelompok dan jumlah anggotanya, sumber-sumber keuangan, kekuatan sosial/personal dan kekuatan materiilnya, luas daerah operasi, dan kecepatan operasinya. Ringkasnya, tergantung pada kerapian organisasinya. Dengan sendirinya, diharapkan agar semua anggota baru yang mengawali kariernya dalam organisasi tersebut mampu menyesuaikan diri dengan norma kelompoknya. Dengan begitu, dia bisa mengharapkan tumpuan bantuan dari anggota dan pimpinan kelompok tersebut terhadap serangan-serangan dari luar, untuk mempertahankan kedirian dan statusnya. 
D.    Reaksi Sosial
Penyimpangan sosial yang terjadi didalam masyarakat menimbulkan beberapa reaksi entah itu pujian ataupun anggapan yang kurang menyenangkan tapi memang pada umumunya yang terjadi adalah sesuatu yg kurang menyenangkan,seperti yang terjadi pada umumunya yang minoritas selalu dimarginalkan, Kompleks dari reaksi-reaksi sosial itu dapat dinyatakan sebagai kusien-toleransi. Yakni merupakan: (1) ekspresi subjektif dan kuantatif terhadap penyimpangan (tingkah laku patologis) dan (2) kesediaan masyarakat untuk menerima atau menolak penyimpangan tadi. Dengan kata lain, kusien-toleransi itu merupakan perbandingan di antara tingkah laku objektif yang nyata kelihatan sosiopatik dengan kesediaan lingkungan sosial/masyarakat untuk mentolerisasinya.
Reaksi-reaksi sosial itu berkembang dari sikap menyukai, ragu-ragu, apatis, acuh tak acuh, sampai sikap menolak dengan hebat kemudian, reaksi tersebut bisa dibagi dalam tiga fase, yaitu:
1)      Fase mengetahui dan menyadari adanya penyimpangan;
2)      Fase menebtukan sikap dan kebijaksanaan;
3)      Fase mengambil tindakan, dalam bentuk: reaksi reformatif, reorganisasi, hukuman (memberikan hukuman), dan sanksi-sanksi.                  
Khususnya mengenai penyimpangan dalam bentuk ide-ide, pikiran dan perilaku yang dianggap baru, berlangsunglah proses sebagai berikut: mula-mula ditolak hebat oleh masyarakat luas, kemudian ditanggapi dengan sikap acuh tak acuh. Lambat laun diterima oleh masyarakat dengan sepenuh hati. Maka produk dari peristiwa tersebut berwujud perubahan sosial dan perubahan kultural. Sebagai contoh, peristiwa merokok dan minum-minuman keras oleh kaum wanita, semula dianggap sebagai tabu dan hanya dilakukan oleh nyai (isteri/piaraan orang-orang Belanda) dan wanita-wanita tuna susila saja. Namun pada masa sekarang ini menjadi modus yang modern untuk menunjukkan status sosial dan prestise wanita.
PENUTUP
Kesimpulan
            Istilah psikopat yang sejak 1952 diganti dengan Sosiopat dan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) II 1968 resmi dinamakan Sosiopat. Psikopat – Psycho atau Sosiopatik = Anti Sosial. Psikopat adalah seseorang yang dapat memutarbalikan/ menyembunyikan fakta, alibi dan tidak mempunyai rasa bersalah/ malu atau penyesalan sama sekali atas suatu perilaku merugikan yang dilakukan oleh dirinya, terkesan cerdik, smart (pintar), pandai mengelak, manipulatif dan jago berargumentasi melalui artikulasi berbahasa saat melakukan suatu kejahatan yang sempurna dalam bentuk penubunuhan fisik atau psikologis.
            Pendapat umum menyatakan, bahwa individu-individu, yang agak berbeda(menyimpang) dan ditolak oleh masyarakat itu pada galibnya tidak bahagia hidupnya. Mereka mengalami proses demoralisasi dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya,dan reaksi sosial akn terlihat jelas menimpa pada orang yng larut dalam kondisi tersbut.
           Menurut kaum sosiolog tingkah laku sosiopatik adalah tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari kebiasaan serta norma umum, yang ada pada suatu tempat dan waktu tertentu yang ditolak sekalipun tingkah laku tersebut di tempat dan waktu lain bisa diterima oleh masyarakat lainnya.
           Sosiopatik atau dapat pula disebut psikopatik adalah tingkah laku yang menyimpang dari norma masyarakat dimana pelakunya bukanlah pengidap penyakit mental dan tidak mempedulikan keadaan sekitar (anti sosial).









                                                      DAFTAR PUSTAKA
Kartono, kartini. 2011. Patologi Sosial, jilid 1, Jakarta: Rajawali Pers.          
irvanhavefun.blogspot.com/2012/03/tingkah-laku-sosiopatik.html
wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/03/penyesuaian-diri-pertumbuhan-personal-stress/

1 komentar: